Perkara Etika Media dalam Berita Kekerasan Seksual: Sebuah Upaya Reportase Pro-Penyintas

Abisena Ahmadi Suryo
7 min readApr 25, 2022
https://clipart.me/free-vector/sexual-harassment

Pemberitaan kasus kekerasan seksual nampaknya sedang marak di negeri ini. Dari tahun 2021 kemarin, data dari Komnas Perempuan menunjukan bahwa ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. jumlah ini naik drastis dari total 6.872 kasus pada tahun 2020. Seiring dengan naiknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, perlu diadakan observasi dalam publikasi kasus pelecehan seksual di media massa. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang kekerasan seksual dan memberi pemahaman konteks lebih dalam.

Dalam reportase kasus kekerasan seksual ada hal-hal penting yang harus diperhatikan yang mana berpusat pada dua poin:

a. Keadilan bagi korban dalam penyampaian kasusnya

b. Kefokusan dan sensitivitas dalam narasinya.

Keadilan penting dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Jika keadilan belum atau tidak didapatkan oleh para korban kekerasan seksual yang melapor ke aparat, maka keadilan pertama yang bisa didapat para korban kekerasan seksual adalah keadilan dalam jurnalisme, yaitu tentang bagaimana dan melalui apa cerita mereka diserukan dalam media massa. Contohnya, keadilan harus didapatkan korban pelaku pelecehan bergender berkelamin laki-laki maupun perempuan.

Di media massa, pelecehan yang dilakukan oleh perempuan kerap kali dipandang sebelah mata. Kata-kata berikut seperti “menggoda.” atau “berhubungan intim.” lebih sering dipakai dibandingkan “memperkosa“ atau “mencabuli“, yang mana membuat seakan-akan skenario kekerasan seksual tidak bisa menempatkan laki-laki sebagai korbannya. Ini terjadi karena kebanyakan orang berasumsi bahwa hanya laki-laki yang dapat melakukan pelecehan seksual. Memang ada ketimpangan di antara jumlah perundungan seksual oleh laki-laki dan perempuan. Menurut penelitian tahun 2016, sekitar 95% pelecehan seksual dilakukan laki-laki, yang tentu membentuk pemahaman masyarakat tentang gender mana yang lebih mungkin melakukan pelecehan seksual dan mana yang tidak. Namun tentu saja sisa 5% kasus tersebut harus diperlakukan dengan intensitas yang sama. Peran jurnalis dan media dalam hal ini adalah mengedepankan integritas mereka dengan memberi perspektif bahwa pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja apapun gendernya dan bahwa kedua gender dapat menjadi korban dan pelaku pelecehan seksual dan akan mendapatkan perlakuan dan konsekuensi yang sama.

Beralih ke masalah etika pemberitaan pelecehan seksual dalam mekanismenya, yaitu siaran berita pelecehan seksual yang memojokkan korban. Ini biasanya terjadi dengan terlalu banyak mempertanyakan dan menganalisis kondisi korban saat kejadian atau memelintir kesaksian korban yang dapat membuat korban ragu atas kesaksiannya sendiri. Contohnya jika korban pelecehan seksual adalah transpuan, laki-laki, LGBT ataupun orang yang tergolong jarang diberitakan sebagai korban pelecehan seksual di media awam, beberapa orang awam mungkin akan bertanya “bagaimana bisa?“ dan di sanalah peran jurnalis untuk menjelaskannya. Jurnalis harus mencari cara agar para konsumen berita pelecehan seksual yang nantinya akan dipubikasi tidak semerta-merta fokus kepada identitas atau orientasi korban.

Pelanggaran lainnya yang biasa muncul dalam jurnalisme pelecehan seksual adalah penggalian informasi pribadi yang tidak relevan dengan kasusnya. Acapkali, media massa senang menggali informasi apapun yang terkait dengan korban untuk dijadikan bahan pemberitaan. Informasi-informasi sensitif dan vital bisa disebarluaskan tanpa sepengetahuan dan persetujuan korban. Belum lagi kemungkinan adanya agenda setting atau framing yang menampilkan opini-opini pribadi jurnalis yang bisa mengandung bias. Pengeksposan informasi berlebihan serta penambahan opini jurnalis tentu tidak sejalan dengan salah satu kode etik jurnalistik.

Sebuah berita kekerasan seksual yang baik dapat menceritakan secara runtut kejadian kekerasan seksual tersebut berdasarkan waktu dan lokasi yang akurat. Jurnalis harus bisa menggambarkan kejadian dengan konteks agar kejadian kekerasan seksual dapat tergambarkan dengan baik. Racikan seperti ini sudah cukup untuk membuat berita kekerasan seksual yang beretika, terfokuskan, dan bermoral selagi menawarkan visualisasi dan informasi yang penting untuk diserap orang awam.

Secara teknis penyampaian berita kekerasan seksual, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan dalam kaidah penulisannya: jangan terlalu sering menggunakan “dugaan” dan sebaliknya coba gunakan istilah seperti “menurut” dan “laporan dari.” lalu cantumkan dari mana informasi tersebut didapatkan. Berikan juga penekanan pada kejahatan pelaku seperti “Dia memperkosanya” daripada mendeskripsikan korban dengan “Dia diperkosa.”. Pakaian yang dipakai korban saat kejadian tidaklah relevan dengan alasan kejahatan pelaku, jadi sebisa mungkin deskripsi pakaian korban dibuat hanya sebagai informasi tambahan.

Kuncinya adalah jurnalis harus membangkitkan empati dan sensitivitasnya terhadap korban agar dapat benar-benar memahami apa yang korban rasakan dari perspektif penyintas. Lihatlah korban pelecehan sebagai subjek yang dapat dipertanggungjawabkan kesaksiannya dan bukan sebatas objek berita. Dengan begitu, penyampaian narasi yang netral dan sensitif dapat membuat pesan-pesan penting tentang kejadian tersampaikan dengan baik tanpa ada tendensi informasi yang berpotensi merugikan pihak korban.

Dengan upaya jurnalisme pelecehan seksual yang lebih memihak kepada korban, akan tercipta reportase bermutu yang adil bagi banyak pihak yang terkait dan layak untuk dikonsumsi masyarakat awam. Karena sesaat setelah publikasi berita kekerasan seksual dilakukan, jurnalis tidak bisa mengontrol tanggapan dan komentar masyarakat mengenai publikasi tersebut. Oleh karena itu, sangatlah vital bagi jurnalis untuk berhati-hati dalam proses fabrikasi kasus pelecehan seksual agar tetap pro-penyintas dan patuh terhadap kode etik dan moral jurnalisme.

Perlu ditekankan bahwa peran media bukan hanya menjembatani informasi kejadian kepada masyarakat luas, namun juga mengolah koleksi informasi tersebut sebaik mungkin sehingga menjadi publikasi yang dapat menggugah rasa empati, sensitivitas, dan pengertian mendalam akan kasus pelecehan seksual yang diulas. Karena secara keseluruhan, segala hal yang tampil dalam surat kabar dan media massa tentang pelecehan seksual akan membentuk cara pandang masyarakat awam dalam bereaksi terhadap pelecehan seksual. Pada situasi ini, jurnalisme yang akurat, adil, dan pro-penyintas berperan penting untuk mengubah fenomena naiknya grafik pemerkosaan dalam masyarakat dan berpotensi mengungkap lebih banyak cerita dari para penyintas pelecehan seksual yang masih membungkam mulutnya.

Pemberitaan kasus kekerasan seksual nampaknya sedang marak di negeri ini. Dari tahun 2021 kemarin, data dari Komnas Perempuan menunjukan bahwa ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. jumlah ini naik drastis dari total 6.872 kasus pada tahun 2020. Seiring dengan naiknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, perlu diadakan observasi dalam publikasi kasus pelecehan seksual di media massa. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang kekerasan seksual dan memberi pemahaman konteks lebih dalam.

Dalam reportase kasus kekerasan seksual ada hal-hal penting yang harus diperhatikan yang mana berpusat pada dua poin:

a. Keadilan bagi korban dalam penyampaian kasusnya

b. Kefokusan dan sensitivitas dalam narasinya.

Keadilan penting dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Jika keadilan belum atau tidak didapatkan oleh para korban kekerasan seksual yang melapor ke aparat, maka keadilan pertama yang bisa didapat para korban kekerasan seksual adalah keadilan dalam jurnalisme, yaitu tentang bagaimana dan melalui apa cerita mereka diserukan dalam media massa. Contohnya, keadilan harus didapatkan korban pelaku pelecehan bergender berkelamin laki-laki maupun perempuan.

Di media massa, pelecehan yang dilakukan oleh perempuan kerap kali dipandang sebelah mata. Kata-kata berikut seperti “menggoda.” atau “berhubungan intim.” lebih sering dipakai dibandingkan “memperkosa“ atau “mencabuli“, yang mana membuat seakan-akan skenario kekerasan seksual tidak bisa menempatkan laki-laki sebagai korbannya. Ini terjadi karena kebanyakan orang berasumsi bahwa hanya laki-laki yang dapat melakukan pelecehan seksual. Memang ada ketimpangan di antara jumlah perundungan seksual oleh laki-laki dan perempuan. Menurut penelitian tahun 2016, sekitar 95% pelecehan seksual dilakukan laki-laki, yang tentu membentuk pemahaman masyarakat tentang gender mana yang lebih mungkin melakukan pelecehan seksual dan mana yang tidak. Namun tentu saja sisa 5% kasus tersebut harus diperlakukan dengan intensitas yang sama. Peran jurnalis dan media dalam hal ini adalah mengedepankan integritas mereka dengan memberi perspektif bahwa pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja apapun gendernya dan bahwa kedua gender dapat menjadi korban dan pelaku pelecehan seksual dan akan mendapatkan perlakuan dan konsekuensi yang sama.

Beralih ke masalah etika pemberitaan pelecehan seksual dalam mekanismenya, yaitu siaran berita pelecehan seksual yang memojokkan korban. Ini biasanya terjadi dengan terlalu banyak mempertanyakan dan menganalisis kondisi korban saat kejadian atau memelintir kesaksian korban yang dapat membuat korban ragu atas kesaksiannya sendiri. Contohnya jika korban pelecehan seksual adalah transpuan, laki-laki, LGBT ataupun orang yang tergolong jarang diberitakan sebagai korban pelecehan seksual di media awam, beberapa orang awam mungkin akan bertanya “bagaimana bisa?“ dan di sanalah peran jurnalis untuk menjelaskannya. Jurnalis harus mencari cara agar para konsumen berita pelecehan seksual yang nantinya akan dipubikasi tidak semerta-merta fokus kepada identitas atau orientasi korban.

Pelanggaran lainnya yang biasa muncul dalam jurnalisme pelecehan seksual adalah penggalian informasi pribadi yang tidak relevan dengan kasusnya. Acapkali, media massa senang menggali informasi apapun yang terkait dengan korban untuk dijadikan bahan pemberitaan. Informasi-informasi sensitif dan vital bisa disebarluaskan tanpa sepengetahuan dan persetujuan korban. Belum lagi kemungkinan adanya agenda setting atau framing yang menampilkan opini-opini pribadi jurnalis yang bisa mengandung bias. Pengeksposan informasi berlebihan serta penambahan opini jurnalis tentu tidak sejalan dengan salah satu kode etik jurnalistik.

Sebuah berita kekerasan seksual yang baik dapat menceritakan secara runtut kejadian kekerasan seksual tersebut berdasarkan waktu dan lokasi yang akurat. Jurnalis harus bisa menggambarkan kejadian dengan konteks agar kejadian kekerasan seksual dapat tergambarkan dengan baik. Racikan seperti ini sudah cukup untuk membuat berita kekerasan seksual yang beretika, terfokuskan, dan bermoral selagi menawarkan visualisasi dan informasi yang penting untuk diserap orang awam.

Secara teknis penyampaian berita kekerasan seksual, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan dalam kaidah penulisannya: jangan terlalu sering menggunakan “dugaan” dan sebaliknya coba gunakan istilah seperti “menurut” dan “laporan dari.” lalu cantumkan dari mana informasi tersebut didapatkan. Berikan juga penekanan pada kejahatan pelaku seperti “Dia memperkosanya” daripada mendeskripsikan korban dengan “Dia diperkosa.”. Pakaian yang dipakai korban saat kejadian tidaklah relevan dengan alasan kejahatan pelaku, jadi sebisa mungkin deskripsi pakaian korban dibuat hanya sebagai informasi tambahan.

Kuncinya adalah jurnalis harus membangkitkan empati dan sensitivitasnya terhadap korban agar dapat benar-benar memahami apa yang korban rasakan dari perspektif penyintas. Lihatlah korban pelecehan sebagai subjek yang dapat dipertanggungjawabkan kesaksiannya dan bukan sebatas objek berita. Dengan begitu, penyampaian narasi yang netral dan sensitif dapat membuat pesan-pesan penting tentang kejadian tersampaikan dengan baik tanpa ada tendensi informasi yang berpotensi merugikan pihak korban.

Dengan upaya jurnalisme pelecehan seksual yang lebih memihak kepada korban, akan tercipta reportase bermutu yang adil bagi banyak pihak yang terkait dan layak untuk dikonsumsi masyarakat awam. Karena sesaat setelah publikasi berita kekerasan seksual dilakukan, jurnalis tidak bisa mengontrol tanggapan dan komentar masyarakat mengenai publikasi tersebut. Oleh karena itu, sangatlah vital bagi jurnalis untuk berhati-hati dalam proses fabrikasi kasus pelecehan seksual agar tetap pro-penyintas dan patuh terhadap kode etik dan moral jurnalisme.

Perlu ditekankan bahwa peran media bukan hanya menjembatani informasi kejadian kepada masyarakat luas, namun juga mengolah koleksi informasi tersebut sebaik mungkin sehingga menjadi publikasi yang dapat menggugah rasa empati, sensitivitas, dan pengertian mendalam akan kasus pelecehan seksual yang diulas. Karena secara keseluruhan, segala hal yang tampil dalam surat kabar dan media massa tentang pelecehan seksual akan membentuk cara pandang masyarakat awam dalam bereaksi terhadap pelecehan seksual. Pada situasi ini, jurnalisme yang akurat, adil, dan pro-penyintas berperan penting untuk mengubah fenomena naiknya grafik pemerkosaan dalam masyarakat dan berpotensi mengungkap lebih banyak cerita dari para penyintas pelecehan seksual yang masih membungkam mulutnya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Abisena Ahmadi Suryo
Abisena Ahmadi Suryo

Written by Abisena Ahmadi Suryo

downright plastic bag who creates while drifting through the wind

No responses yet

Write a response