Memilah Vaksin Anti Galau Quarter Life Crisis

Tak ada angin tak ada hujan apalagi petir dari Zeus, perasaan itu datang tanpa tanda-tanda. Saat kehidupan teman-teman dan kolega terlihat mulus tanpa rintangan, saya bermuram diri memikirkan segala keputusan, kesempatan, dan langkah yang saya ambil dalam hidup lalu mangap lebar dan bertanya-tanya apakah saya telah menjalankan hidup saya dengan benar.
Si A sudah diterima di universitas beken, si B sudah mempersunting pujaan hatinya dan lagi bulan madu di antara ikan-ikan laut di Maladewa, sementara saya berpikir…kok apes banget ya nganggur di masa pandemi? Beberapa dari kita menelaah situasi rumit ini dengan berpergian, rileksasi, dan mungkin menulis jurnal karena menganggap kita hanya mengalami kebosanan atau kelelahan biasa. Tetapi setelah melakukan segala sugesti diri untuk membuang perasaan ini, rupanya pikiran semrawut tak mau pergi. Kalau kamu pernah atau sedang merasakan situasi yang mirip, fix kamu sedang mengalami quarter-life crisis.
Quarter-life crisis adalah istilah beken masa pencarian jati diri, di kultur pop ada film seperti Groundhog Day (1993) yang menceritakan seorang pria yang merasa kehidupan dan keseharian normalnya membosankan lalu berusaha bunuh diri. Dalam ilmu psikologi, diketahui krisis ini berhubungan dengan situasi lain seperti krisis eksistensal yang berhubungan dengan kecemasan dan depresi — -yang juga bisa memicu tendensi bunuh diri. Bahkan data menunjukkan terjadi peningkatan signifikan di antara pemuda 19–30 tahun dalam kasus bunuh diri sejak tahun 2000. Studi lain yang diprakarsai LinkedIn, tujuh puluh lima persen orang berumur 25–33 mengaku mengalami quarter-life crisis. Benar, krisis seperempat abad adalah hal yang lebih serius dan harus lebih sering dibahas daripada masalah bubur diaduk atau nggak.
Di masa krisis ini, kita telah sadar bahwa kita bukanlah remaja lagi, tapi di sisi lain, menjadi orang dewasa tampaknya kita tidak kuasa. Kita akan mencari-cari makna kehidupan lebih sering daripada sebelumnya. Menghadapi quarter life crisis memang membutuhkan perspektif yang dewasa, karena pandangan kita tentang dunia dapat berubah 180 derajat saat ia menimpa.
Banyak macam konten tentang krisis seperempat abad yang terpatri di dunia modern, mulai dari artikel, video, hingga buku. Tentu saja semua ditujukan kepada orang-orang yang sedang putus asa, pasrah, dan hilang arah. Terbukti dengan melonjaknya 35% penjualan buku bergenre self-help selama masa pandemi, sepertinya kita semua kompak dalam membaca Mark Manson sampai Aristoteles demi meneruskan kehidupan yang semakin lama terasa pahit kayak mengkudu mateng.
Sejak ribuan tahun lalu, tatanan sosial, pengembangan ekonomi, budaya serta pengaruh globalisasi abad modern telah mempengaruhi pandangan kita tentang kehidupan yang ideal dengan segala konten yang kita konsumsi. Situasi ini terkadang menyebabkan kita terlalu sibuk menerapkan cara-cara instan mendekati sulap untuk menduplikasi kebahagiaan orang lain yang otomatis kita angap sebagai ‘standar kehidupan layak’ dalam alam bawah sadar kita. Karena ini, tidak ada salahnya meluangkan waktu untuk menciptakan kembali esensi kehidupanmu, karena nyatanya ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk membentuk ‘vaksin’ pelindung dari hal-hal saat quarter life crisis menyerang.
Mentransformasi Ide Kehidupan Ideal
Bayangin kamu lagi baca berita bahwa Billie Eilish menyabet 6 piala Grammy di usia 18 tahun, sementara mungkin kamu saat usia 18 tahun masih bergelut dengan makian orangtua dan kebingungan memilih jalan untuk masa depan. Ada sebuah paradoks menarik ketika kita melihat kesuksesan orang-orang di sekitar kita, kita cenderung hanya menilai orang berdasarkan pencapaian dan hasil pengorbanannya, tanpa memikirkan posisi start (status ekonomi keluarga, keuntungan geografis, ras, dan keuntungan privilese) mereka dalam mencapai kesuksesannya itu sendiri, yang sebenarnya bisa dijadikan alat ukur ‘kesuksesan’ yang lebih akurat. Jadikan mbak Billie sebagai acuan motivasi sukses, tapi jangan bandingkan sama nasibmu sama dia karena masalahnya kamu bukan cewek kaukasia berprivilese tinggi yang lahir dari keluarga Amerika. Kamu bukan Bllie Eilish (dan Billie juga gak sudi jadi kamu). Berhenti berkaca pada orang lain karena refleksi dirimu bukanlah mereka.
Tapi nyatanya membandingkan nasib memang terasa menggoda ketika kita sedang tertekan, bukan? Kita hidup di dunia yang mendewakan kesempurnaan, tidak peduli sebagaimana artifisial, terfabrikasi, dan palsu kesempurnaan itu, dan mengucilkan ketidaksempurnaan, tidak peduli sebagaimana natural, alami, dan sederhana. Sepertinya ini pengetahuan mendasar bagi orang-orang yang sadar akan budaya toksik media sosial.
Akun penulis anyar Ika Natassa pernah dikritik karena pandangannya terhadap pedagang kaki lima yang dianggap merendahkan. Ia bersyukur atas diri sendiri saat melihat pedagang kaki lima yang setia pada pekerjaannya selama bertahun-tahun. Padahal, para pedagang kaki lima mungkin punya pandangan sukses sendiri dimana mereka menyukai pekerjaan mereka dengan menjual makanan dan berkeliling. Lagipula, seberapa menyedihkannya prinsipmu sampai-sampai harus memandang rendah orang lain untuk merasa bersyukur? Ini masalah tipikal: Bukannya mengurus urusan dirinya sendiri, kita malah memandang rendah orang-orang yang pekerjaannya sering tidak diacuhkan dalam masyarakat dan menganggap orang lain harus mengikuti mode kehidupan ideal mayoritas. Kutipan-kutipan kesuksesan selalu fokus tentang mengejar cita-cita dan uang, namun jarang menggarisbawahi moral, spiritual, dan kebahagiaan internal, yang mana merupakan hal-hal vital untuk bertahan dalam fase quarter-life crisis.
Memulai dan Berhenti
Quarter life crisis adalah tentang merasa berkutat dan terjebak di suatu tempat. Dalam situasi ini, penting untuk kita untuk memulai sesuatu yang baru dan menyenangkan seperti misalnya yoga atau lari pagi untuk merasa bebas. Studi menunjukan bahwa melakukan sesuatu yang baru dari rutin monoton akan menambah neuron baru di otak yang berperan dalam aktivitas berpikir kritis. Quarter life crisis bukan sebuah jeda, namun fase kehidupan yang terasa lambat. Maka, teruslah bergerak dan memulai sesuatu.
Sementara itu, kamu juga harus berhenti membandingkan hidupmu (dengan siapapun, apalagi Bille Eilish). Jangan lupa observasi, kontemplasi, dan buat daftar hal-hal yang ingin kamu berhenti lakukan jika kamu merasa hal-hal itu merampas atau membahayakan kebahagiaan dan produktivitasmu di masa transisi ini.
Berhenti Terobsesi Mencari Arti dalam Segala Hal
Menurut blog Harvard Business Review, kita tidak ditugaskan untuk menemukan ‘tujuan’ kita dalam hidup, tapi kita membangun tujuan itu berkali-kali dalam hidup. Tujuan hidup adalah hal yang terlalu abstrak untuk diartikan dan dibebankan kepada manusia. Tujuan hidup bukanlah duit gocengan yang gak sengaja ketemu saat merogoh-rogoh celana kita. Tapi nyatanya saat krisis menerpa, kita menjadi galau abis dan menelan mentah-mentah konten-konten tentang ‘menemukan’ tujuan hidup ketika sebenarnya tujuan hidupmu ada di dalam dirimu sendiri. Seperti kata penulis Joseph Campbell:
“Life has no meaning. Each of us has meaning and we bring it to life. It is a waste of time to ask the question when you are the meaning.”
Kita terkadang terlalu sibuk memikirkan arti kehidupan kita sampai-sampai kita lupa bahwa kitalah yang bertangung jawab memberi arti dan tujuan hidup kita. Siapapun kita, dalam posisi apapun kita, dan apapun yang kita lakukan akhirnya akan membentuk tujuan kita sendiri dalam kehidupan.
Saat quarter-life crisis, ada banyak motivasi dan ideologi kehidupan yang kita bisa telan di mana saja, kita bisa mengandaikan saran-saran transisi kehidupan yang berserakan sebagai baju-baju diskonan yang tergantung di toko pakaian. Tidak semua akan pas di badan, beberapa terlalu mencekik dan longgar. Pada akhirnya, hanya baju yang cocok lah yang seharusnya kita beli. Dan seperti memilih baju, memilih ideologi juga jangan sampai keliru. Jangan pernah membeli omong kosong berkedok motivasi saat kamu mengalami quarter-life crisis, apalagi menganggap bahwa kehidupanmu rupanya harus sama dengan kehidupan orang lain.
Periksa dan pahamilah diri kita secara menyeluruh pada masa itu, karena jawaban kehidupanmu ada pada dirimu sendiri, bukan di tempat lain. Ideologi kehidupan kita adalah vaksin untuk menangkal galau krisis kehidupan dan pada akhirnya akan menjadi pemandu diri kita melewati masa yang gelap bernama quarter-life crisis. Sampai ini berakhir, kehidupanmu pasti akan oke-oke saja kok…walau mungkin gak sekeren Mbak Billie Eilish.