Membangun Citra Dengan Mendidik Pemirsa: Akar Masalah Gender Dalam Media

Di dalam masyarakat lokal telah tertanam dari kecil bahwa perempuan merupakan paru-paru dari kehidupan manusia. Mereka adalah orang-orang yang melahirkan, menyusui, dan membesarkan setiap calon cendekiawan yang bisa mengemukakan ide briliannya di kemudian hari. Ibu misalnya, segala hal yang berkaitan dengan ibu sebagai perempuan adalah hal yang dikaitkan dengan kasih sayang, sifat lemah lembut, dan sifat mengayomi, hal ini pun terus melekat hingga dewasa dan tak pernah menggoyahkan posisi penting seorang ibu di muka bumi. Reputasi positif ibu merupakan hal yang paling mendasar yang semua orang sadari secara kolektif sejak masih anak-anak. Kita tahu mereka adalah figur yang wajib dihormati dan disegani.
Bagaikan bumi dan langit, ide tentang perempuan yang tertanam di kehidupan masyarakat dan juga di media massa kadang terlalu rumit untuk disandingkan. Ada perbedaan yang mencolok antara bagaimana perempuan direpresentasikan di media massa seperti televisi, media cetak, bahkan radio, dengan nilai-nilai dan ide yang ditanamkan tentang perempuan sejak kecil. Sangat jarang ada program representasi perempuan yang menunjukkan kesan terhormat, bertaji, atau bahkan berkompeten yang disiarkan di media massa. Di media massa yang diusung para jurnalis sejak zaman dahulu, perempuan kerap muncul sebagai figuran dari tokoh utama yang diperankan laki-laki, hal ini pun berimbas kepada pengimplementasian hal tersebut di dunia kerja dan distribusi hak dan gender.
Pada tahun 1940-an di Amerika Serikat, banyak iklan televisi yang menggambarkan wanita sebagai objek ‘bawahan lelaki’ yang menjadi pelaksana suruhan-suruhan yang diminta oleh lelaki. Di dalam iklan tersebut, perempuan selalu digambarkan menurut atas perintah laki-laki. Bukan hanya itu saja, perempuan juga hampir selalu menjadi momok objek seksual dalam media massa sejak zaman dahulu. Tentu saja sesuatu yang masih sering kita lihat relevansinya sampai sekarang.
Seiring berjalannya waktu, banyak yang telah berubah tentang definisi bagaimana menjadi seorang perempuan di masyarakat yang terus berprogres. Perempuan yang dulu mungkin tidak sadar bahwa hak-hak mereka, peran-peran mereka, dan tugas mereka dalam masyarakat sedang didefinisikan secara tidak langsung oleh stereotip kuno yang menguntungkan laki-laki, kini memberontak dengan keras. Mereka mengusungkan pentingnya kesadaran jurnalisme berbasis gender yang akan memberi dampak positif yang besar bagi kaum mereka.
Jurnalisme adalah aktivitas mulia yang berhubungan langsung dengan representasi masyarakat. Sayangnya, di meja jurnalis, banyak hal yang tidak diperlihatkan sebelum suatu berita atau program yang merepresentasikan kaum tertentu dipublikasi ke khalayak luas. Jurnalisme berbasis gender menyatakan betapa pentingnya kita mengawali peredaran data dan berita, termasuk nama-nama orang yang terlibat di dalamnya. Setiap kelas sosial dalam lingkup jurnalisme: mayoritas dan minoritas, yang teropresi dan yang berkuasa, yang mendominasi dengan yang berjumlah sedikit wajib mempunyai aliansi yang dapat menyuarakan ide-ide mereka sehingga tercipta kesamarataan yang menjadikan proses jurnalisme sempurna serta anti bias.
Dalam berperang melawan ketimpangan gender di ruang lingkup jurnalisme, langkah besar memang harus segera dilakukan, salah satunya tentu saja dengan memberi kesempatan bagi para jurnalis perempuan untuk menyuarakan haknya dan merepresentasikan perempuan melalui perspektif mereka sendiri. Namun sayangnya, hal ini pun juga masih menjadi peperangan panjang lainnya yang harus digeluti para jurnalis perempuan.
Menurut data statistik, jumlah jurnalis perempuan hanyalah 1:3 atau 1:4 dibanding jumlah jurnalis laki-laki. Padahal dalam skala internasional, jumlah mahasiswa dan mahasiswi cenderung lebih didominasi oleh mahasiswi. Hal ini bukan tanpa alasan, menurut UNESCO, kebanyakan perempuan memilih untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi daripada laki-laki adalah karena insting mereka yang kuat terhadap posisinya dalam masyarakat. Perempuan harus bekerja lebih keras demi mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki di hampir semua bidang pekerjaan. Statistik ini saja sudah membuktikan bahwa ada suatu hal yang janggal mengenai perekrutan dan pemberian kesempatan kepada perempuan di posisi-posisi penting terutama dalam lingkup jurnalisme. Banyak laporan mengenai penindasan dan pelecehan yang dilakukan kepada jurnalis perempuan yang tidak terjadi pada jurnalis laki-laki. Perempuan mendapat lebih sedikit kesempatan untuk membuat rubrik yang relevan tentang posisi mereka dalam masyarakat, sehingga mereka hampir tidak punya kesempatan untuk menceritakan tentang diri mereka sebagai minoritas yang tertindas dan bukan mengulangi stereotip yang kerap telah menjadi default dalam representasi perempuan di media.
Jurnalisme sendiri sangat berpegang erat dengan representasi masyarakat dan cara masyarakat merepresentasikan diri mereka. Jurnalisme berbasis gender yang sehat dan adil adalah hal mengakar dan fundamental yang bisa memangkas banyak masalah tentang ketimpangan gender yang menjamur di dunia ini. Untuk mengubah bagaimana dunia ini memperlakukan perempuan, kita harus mendidik masyarakat bagaimana cara memandang perempuan, dan hal ini paling efektif dilakukan melalui pengukuhan norma-norma dan nilai-nilai terhadap perempuan dalam media yang dikonsumsi masyarakat umum.
Ada banyak alasan mengapa Indonesia masih dinobatkan sebagai negara dengan tingkat literasi terendah di dunia. Mungkin salah satunya adalah karena notifikasi berita yang muncul di smartphone para pengguna internet Indonesia kebanyakan adalah clickbait atau berita yang dibuat hanya untuk menggoda para calon pembaca untuk meng-kliknya serta tidak mengedepankan kualitas isi tulisan. Isi dari clickbait tersebut tidaklah penting, biasanya par penulis artikel clickbait menulis judul ambigu untuk menarik pembaca. Salah satu alat untuk memperoleh klik lewat tulisan clickbait adalah dengan objektifikasi atau pelecehan terhadap objek figur perempuan yang biasanya digambarkan dengan gamblang di judul berita.
Penulis clickbait yang didominasi laki-laki ini akan memberi judul yang tidak senonoh dan keluar dari hukum jurnalisme. Hal ini pun mengakibatkan adanya degradasi kualitas jurnalisme besar-besaran secara masif yang terjadi di Indonesia. Saking masifnya, hal-hal ini mulai dianggap lumrah dan biasa. Tentu banyak orang yang memandang dengan sinis berita clickbait yang menjatuhkan martabat perempuan, namun peredaran clickbait sejenis yang terjadi terus menerus merupakan bukti bahwa masih banyak orang Indonesia yang menaruh minat bahkan menikmati sajian jurnalisme dalam bentuk yang hina ini.
Media harus menunjukkan sikap kesamarataan pada perempuan yang merupakan minoritas dalam media yang teropresi dan ramai disudutkan. Para jurnalis pun harus bahu-membahu menyajikan representasi mereka bukan sebagai produk misoginis yang penuh stereotip, namun menyajikan mereka layaknya manusia yang pandangannya, perspektifnya, dan perilakunya diadaptasikan secara detail dan humanis dalam media.
Pertempuran demi hak kesetaraan representasi perempuan di media massa adalah suatu hal yang nampaknya akan terus berlanjut. Karena selain dari media, perempuan harus adanya perlawanan perempuan terhadap representasi gender yang tidak adil adalah sebab dan juga akibat dari representasi yang puluhan tahun lalu. Kini bertahun-tahun setelahnya, nampaknya kita perlu untuk menanyakan bagaimana menyudahi siklus yang tak kunjung berhenti ini, walau jawabannya mungkin tidak ada di ujung kaki.
Skeptisme dan perseteruan antara perempuan dan laki-laki di dalam ruang jurnalisme juga akan tetap bertahan dalam waktu ke depan. Bagaimanapun, dunia ini telah sedari dulu cenderung berpihak pada satu gender dalam berbagai kompleksitas kehidupan, dan gender yang di sementara yang teropresi akan tetap memperjuangkan hak-hak yang belum mereka dapatkan.
Butuh peranan signifikan dari para ibu dan ayah sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab untuk memberi contoh peran-peran apa yang akan dilakukan anak-anaknya ketika dewasa. Ibu dan ayah juga wajib mengontrol cara anak menggunakan media, dengan itu memandang lawan gendernya secara humanis bukan dengan stereotip-stereotip cacat yang akan berpengaruh terhadap pandangan anak kepada gender dan bagaimana media dapat mendistorsi hal-hal penting dari peran seseorang di dunia nyata. Dengan pemahaman sederhana ini, kita akan mendapatkan jumlah yang setara terhadap masyarakat yang tahu dan sadar apa peran dan haknya dalam masyarakat. Dengan demikian, terjadilah aliran saling menghargai dan mengerti antar gender dengan terbentuknya agen-agen perubahan yang bisa memperbaiki cara memandang manusia dari gendernya.