Mari Dengarkan Peter Pan dan Little Prince Berceloteh Tentang Beranjak Dewasa

Bagi beberapa anak-anak, wahana tempat imajinasi mereka berkelana selagi berkembang hanyalah berupa medium yang padat berisi cerita: Buku, komik, atau layar kopong televisi tempat mereka menonton film-film sesuai usia mereka. Bisa dibilang bahwa tanda-tanda kedewasaan terlihat bukan hanya dari tubuh yang membesar atau urusan-urusan yang semakin kompleks, namun juga segala macam selera konsumsi karya sastra yang lambat laun bertransisi. Dari fabel ke novel, dari novel ke buku self-help, lalu mungkin ke buku filsafat.
Sebagai seseorang yang diahirkan pada awal dekade, saya menyaksikan transisi signifikan bentuk fiksi anak yang mendefinisikan masa kanak-kanak pada eranya masing-masing. Uniknya, beberapa orang di era sekarang nampaknya lebih suka menghidupkan kembali karakter-karakter jadul di karya fiksi anak daripada membuat karakter baru. Hal ini terbukti dengan situasi dunia hiburan yang semakin ramai merilis versi live action dari adaptasi karakter lawas pada sastra dan film anak zaman dahulu. Mudah untuk berspekulasi bahwa akhir-akhir ini dunia nampaknya tidak suka tentang masa yang sekarang ditempatinya. Manusia dewasa sekarang lebih suka memikirkan masa depan mereka yang tak bisa dihindari atau masa lalu mereka yang penuh kenangan. Masa sekarang terasa terlalu runyam untuk dielaborasi di dalam pikiran (dalam konteks ini adalah terjadinya pandemi).
Terang saja banyak jiwa-jiwa bangkotan yang jauh lebih histeris daripada anak kecil ketika Lion King dihidupkan kembali dalam bentuk tiga dimensi pada 2019, atau mewek ketika karakter Steve dari Blues Clues menyapa para penontonnya yang telah beranjak dewasa dengan pesan hangat. Rasanya, tidak ada yang bisa menahan rasa nostalgia yang berkecamuk ketika hal yang punya ikatan emosional erat ketika kanak-kanak, tiba-tiba muncul lagi ketika kita sudah dalam keadaan dewasa.
Antara kedewasaan dan sastra anak, pikiran saya tak hentinya terpaku pada kisah Peter Pan. Karya klasik karangan J. M Barrie yang telah difilmkan dan dianimasikan puluhan kali ini bercerita tentang lelaki muda berkostum hijau yang menelinap ke kamar seorang putri bernama Wendy. Peter Pan paling dikenal karena beberapa hal, yaitu tubuhnya yang tidak bisa tumbuh dan kemampuannya untuk terbang. Selain Peter Pan, ada juga The Little Prince, fabel terkenal dari Prancis yang bercerita tentang seorang anak laki-laki yang menyebut dirinya sebagai pangeran, namun selalu direferensikan sebagai ‘Little Prince’ sepanjang bukunya. Ia terdampar di sebuah gurun bersama seorang pilot — orang dewasa — yang kemudian menjadi teman baiknya.
Little Prince punya pandangan hidup yang polos namun juga imajinatif. Pada akhir cerita ini, karakter pilot lah yang lebih banyak belajar dari Little Prince dengan omongan-omongannya yang terkesan nyeleneh. Jika Peter Pan secara terang-terangan takut menjadi dewasa, Little Prince hanya melihat kedewasaan sebagai sesuatu yang aneh. Ia diceritakan menemui berbagai macam orang dewasa dengan segala kerburukannya: tamak, serakah, sampai sombong. Pada akhirnya, The Little Prince menyimpulkan bahwa alasan mereka menjadi seperti itu adalah karena mereka lupa rasanya menjadi anak kecil.
Kedua karya sastra anak tersebut mempunyai dua kesamaan yaitu sama-sama mengkritik kedewasaan dalam alurnya. Sedikit ganjil rasanya ketika kita menyaksikan karakter anak kecil bercakap tentang kedewasaan. Kedua karakter ini seolah mempertanyakan apa yang terjadi dalam masa transisi kita menuju kedewasaan sampai-sampai mereka sangatlah susah dimengerti. Bagi karakter-karakter ini, kedewasaan terlalu abstrak untuk dimengerti, namun keabstrakan itu kerap membuat mereka memandang kedewasaan dengan perspektif yang lebih luas.
Salah satu kutipan yang menohok di buku The Little Prince adalah “Orang dewasa tidak bisa mengerti apapun, anak-anak kecil lelah mengajarkan mereka tentang berbagai hal.” Sebuah pernyataan yang dilampirkan secara lugas oleh penulisnya yaitu Antoine de Saint-Exupéry melalui karakter Little Prince. Orang-orang dewasa yang membaca kalimat ini mungkin mempunyai tendensi untuk mengangguk setuju daripada memperdebatkannya. Terbukti, The Little Prince merupakan salah satu buku terlaris di dunia yang telah dicetak dalam lebih dari 300 bahasa. Sang penulis menciptakan karakter Little Prince yang terinspirasi dari tahap yang dilalui setiap insan di muka bumi yang mengalami pergolakan batin saat menuju dewasa.
Barangkali kita doyan menonton film dari perspektif anak kecil karena kita semua pernah menjadi anak kecil. Dari perspektif kedua karakter sastra ini, saya seperti diajarkan bahwa satu-satunya penghambat orang dewasa tidak belajar dari anak kecil adalah karena ego yang semakin besar ketika kita menjadi dewasa (pantas saja, Peter Pan ogah menjadi dewasa). Dalam kisah Peter Pan dan The Little Prince, proses kedekatan pembaca dengan karakter melekat kuat lewat interpretasi mereka tentang kedewasaan dengan bahasa yang dapat dicerna anak-anak.
Menarik untuk memikirkan apa yang terjadi jika kedua karakter luar biasa ini dipertemukan dalam satu semesta. Imajinasi dan sisi inner-child saya yang semakin liar semasa pandemi pun membayangkan apa yang dua karakter ini akan pikirkan ketika menyaksikan kehidupan dunia saat ini dan para anak-anak tumbuh dewasa. Saya mungkin akan membuat sebuah situasi serupa di otak saya:
Peter Pan keluar dari Neverland dengan rentangan tangan yang bebas. Sambil menerjang embusan angin, ia meringsek melalui lautan manusia dan hingar-bingar kesibukkan dunia. Ia bertemu Little Prince di tengah keramaian sebuah kota yang padat. Dunia tampak lebih berbeda dari terakhir kali ia menemui Wendy, apa yang terjadi? pikirnya. Ia pun bercakap dengan seseorang yang memberinya informasi tentang situasi krisis dunia saat ini dengan santai. Ia terkejut.
Sekarang tahun 2021, tahun yang datang setelah tahun pandemi. 202 adalah tahun yang buruk bagi para Gen Z yang dirumahkan, generation sandwich yang harus memikirkan orangtua dan anaknya, para pedagang yang hampir gila, dan anak kecil yang sekujur tubuhnya secara tidak sadar membesar tiap hari, bertumbuh tinggi, atau matanya mulai rabun diterpa cahaya biru komputer terus-menerus. Sementara kondisi bumi tak kunjung membaik. mereka harus tumbuh dengan kurangnya eksposur sinar matahari, dengan keuangan yang seadanya, dan teman yang menipis. Semua terjadi saat masker tertempel di wajah. Singkatnya, tahun ini adalah tahun yang memilukan bagi tiap orang yang beranjak dewasa.
The Little Prince lalu menghampiri Peter Pan menjelaskan apa yang dia dengar dari orang itu. Selagi menceritakan semua, Peter Pan mengangguk dengan penuh antusiasme. “Tuhkan, menjadi dewasa itu memang nggak enak!” Little Prince menatap Peter Pan, lalu membalas “kau benar juga, tapi…” Keduanya berargumen berjam-jam tentang kedewasaan. di pelataran sebuah lembah yang sepi.
Setelah berjumpa satu sama lain, Little Prince bersiap kembali ke bulan tempat dimana ia merindukan bunga mawarnya tiap hari. “Itu lebih baik daripada menjadi orang dewasa.” celetuknya kepada Peter Pan.
Peter Pan juga mengikuti, “Aku juga masih terlalu mencintai kebebasanku daripada harus membayar tagihan dan pura-pura bahagia” Mereka berdua pun tertawa ironis sambil memikirkan setiap orang dewasa yang mengenal mereka sebagai karakter di sebuah buku terkenal. Peter Pan meregangkan tubuhnya, bersiap untuk terbang ke Neverland, dimana ia tidak akan pernah tumbuh dewasa.
Selagi kembali ke tempatnya masing-masing, mereka menengok ke arah bumi yang ramai itu.
Bagaimanapun, Wendy ada di kerumunan orang dewasa itu…
Bagaimanapun, pilot yang Little Prince temui di gurun pasir juga ada di kerumunan orang dewasa itu…
Ada miliaran lagi orang dewasa di bumi ini.
Apakah mereka sekarang baik-baik saja?
Mereka lalu sepakat bahwa orang-orang dewasa yang sedang hidup di bumi saat ini adalah orang-orang yang kuat.
Ya, begitulah kira-kira bayangan saya ketika dua karakter ini bertemu di masa sekarang. Dua karakter sastra anak yang selalu fanatik mengkritisi kedewasaan akhirnya luluh pada fakta bahwa setiap manusia di bumi tak bisa melepaskan proses pendewasaan itu. Mungkin, kita sebenarnya jauh lebih baik dar Peter Pan yang takut dewasa.
Satu hal yang pasti, dua karakter ini belum pernah merasakan badan remuk setelah berlama-lama duduk di depan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan atau membayar cicilan rumah yang tak kunjung selesai. Mereka telah memilih untuk melihat kehidupan orang dewasa dengan kesinisan yang mendalam selagi terus mencoba memahami orang dewasa dan keanehannya. Untuk Peter Pan, pilihan hidupnya lebih kontroversial: dia memilih untuk menetap di Neverland dan tidak pernah tumbuh dewasa. Sebuah pilihan yang, segila apapun, mungkin juga akan dipilih setiap orang yang sedang mengalami fase krisis pendewasaan.
Beberapa dari kita mungkin pertama kali belajar tentang menjadi orang dewasa yang bijak bukan dari orang dewasa sendiri, namun dari karakter-karakter sastra yang merepresentasikan karakter anak dan ketakutannya terhadap orang dewasa. Peter Pan dan The Little Prince sukses mendongeng tentang kepiluan menjadi orang dewasa dengan sentuhan satir yang lebih terkesan menyentuh daripada menggurui. Satir-satir ini, ironisnya, akan lebih dipahami orang dewasa. Para anak yang mengkonsumsi cerita The Little Prince dan Peter pan semasa kecil akan kembali menyambangi cerita ini dengan perspektif lain ketika usia mereka telah bertambah dan berkata: “Mereka benar, menjadi dewasa sangatlah payah.”. Saat itulah kita mengerti bahwa kedua cerita ini sebenarnya memiliki unsur filsafat yang kuat sedari dulu.
Tentu saja kita bukan seperti kedua karakter ini. Kita hanya manusia yang terus bertumbuh dan terus melangsungkan hidup karena tidak mempunyai hak istimewa untuk menghindari kedewasaan seperti yang dimiliki Peter Pan dan Little Prince. Umat dunia butuh sebuah buku di mana Peter Pan dan Little Prince dipertemukan dalam satu semesta dan membahas tentang apapun, terutama kebencian mereka terhadap beranjak dewasa. Saya akan membacanya dan bersedia mendengar mereka berceloteh tentang kedewasaan. Mereka berdua membuka mata saya bahwa terkadang kita harus mengingat bagaimana rasanya menjadi anak kecil untuk menjadi orang dewasa yang bijak. Peter Pan dan Little Prince menyatakan hal penting: Ketika anak kecil bercakap tentang kedewasaan, orang dewasa harus menyimak dengan seksama.