Kita Lebih Butuh Mereka Sekarang

Abisena Ahmadi Suryo
3 min readFeb 25, 2021
(europeanjournalsts.org)

Dalam sebuah konflik, permasalahan, atau bencana, selalu ada pihak penengah yang kehadirannya vital untuk menjaga kerukunan dan harmoni kehidupan sehari-hari setelah konflik itu terjadi. Mulai dari percekcokan, kebakaran, sampai pertikaian antar-individu, semua harus ditangani oleh pihak pelerai yang kehadirannya kerap tak terlihat namun nyata.

Pihak penengah atau pihak ketiga ini menjembatani dan melaksanakan hak masyarakat untuk menerima informasi beserta himbauan yang akurat dan tepat guna dikonsumsi oleh publik dan partisi masyarakat. Pihak ketiga juga berfungsi sebagai penyalur mediasi bagi khalayak ramai yang perkataannya dapat diyakini dan terpercaya. Pers adalah pihak ketiga di antara pemerintah dan masyarakat awam di tengah kondisi kenegaraan dan perekonomian yang goyah akibat pandemi.

Pers meliput dan menyiarkan pernyataan dari kedua belah pihak, dan hasilnya akan dikonsumsi oleh segala individu dalam negara. Proses distribusi informasi dari pihak pertama ke konsumen ini sangat vital dan rentan, karena reaksi masyarakat bisa jauh lebih tidak terduga pada masa krisis. Bagi para pekerja yang tugasnya bergantung pada aktivitas luar ruangan, berkomunikasi, bekerja sama, bersinergi, dan meliput, pekerja pers pastinya terdampak berat oleh kehadiran virus ini. Mau tak mau, topik yang paling sering disajikan dan diolah menjadi tidak jauh dari perihal dampak virus menyeramkan ini. Situasi politik memanas di antara beberapa kubu, dan media pers yang tersisa dituntut untuk terus menjalankan tugasnya meskipun banyak yang harus dikorbankan.

Survei dari International Federation of Journalists terhadap 1.300 jurnalis di 77 negara yang terdampak COVID-19, sebanyak 866 jurnalis lepas dan tetap mengalami pemotongan gaji, kehilangan pekerjaan, dan penundaan gaji selama pandemi. Hasil survei Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, menunjukkan 45,92% wartawan mengalami gejala depresi dan 57,14% mengalami kejenuhan umum. Tidak ada niat pemerintah untuk menangani urgensi ini. Pemecahan masalah sosial dan karir jurnalis selama ini nampak bergantung pada kerapuhan birokrasi serta jaminan kesejahteraan jurnalis yang samar-samar.

Harapan tentunya masih ada. Selagi masih ada para jurnalis yang tahu betul kewajiban dan haknya serta masyarakat yang ikut andil dalam memperjuangkan hak kebebasan pers, maka akan tercipta kekuatan peliputan tanpa hilangnya keberanian dan penjunjungan tinggi atas transparansi dan kebenaran. Tidak mudah memang menjadi bagian dari media pers di masa pandemi, serangan-serangan dan ancaman kerap dilancarkan oleh kubu yang merasa dikhianati, tetapi ingatlah, pekerjaan yang mengemban aspek keadilan dan kebenaran pada masyarakat harus selalu diprioritaskan.

Di masa inilah terlihat jelas bahwa tantangan media pers bukanlah hanya mengendalikan temperamen para konsumen tulisan di lapangan, namun juga sebagai tameng yang harus mampu menerjang kerasnya angin badai ketika kondisi dunia meronta-ronta, selagi tetap melindungi para pekerja yang mendedikasikan dirinya untuk pekerjaan yang mulia.

Esok hari, bumi tanah air mungkin masih menderita akibat pandemi. Namun siapa yang tahu dengan beberapa bulan kemudian atau tahun esok yang selalu diharapkan dan diramalkan lebih baik. Ketika pers diajak bergerombol dengan para penguasa dan berbincang tentang solusi yang transparan, Ketika rekan media dianggap sebagai bagian penting pengawasan kinerja para kalangan elit pemerintah dan bukan mata-mata yang mengancam reputasi publik. Mungkin butuh beberapa saat hingga hal seperti itu terjadi, tetapi yang jelas mereka para rekan jurnalis sedang membutuhkan kita, dan kita lebih butuh mereka sekarang daripada sebelum krisis ini terjadi. Hubungan masyarakat dan pers harus bersifat platonis dan berdasarkan mutualisme agar tercipta ketentraman dalam masa krisis ini. Undang mereka untuk berpartisipasi secara masif dalam menangani kondisi pandemi ini, sehingga bertahun-tahun dari sekarang, para rekan pers akan melihat ke masa ini dan bergumam “Masa itu itu sangatlah sulit, namun juga sangat berarti.”.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Abisena Ahmadi Suryo
Abisena Ahmadi Suryo

Written by Abisena Ahmadi Suryo

downright plastic bag who creates while drifting through the wind

No responses yet

Write a response