Karut-marut Post-Truth: Menyudahi Kemesraan Media Manipulator dan Netizen Modern

Tak peduli seberapa mahir manusia belajar mengolah informasi, lama kelamaan tercipta tendensi informasi tersebut untuk ‘mengelola’ manusia. Tangkapan informasi modern bagaikan cermin dua arah yang sirkulasinya terikat. Algoritma internet modern membuat konsumen media hanya direkomendasikan konten media yang dipreferensikan oleh algoritma tersebut. Inilah penyebab karut-marut media internet yang menyebabkan fenomena post-truth dimana kita kehilangan kemampuan mengetahui kebenaran suatu data. Masalah ini meliputi membludaknya konsumen internet, media yang berpusat pada keuntungan materi, dan algoritma internet.
Transformasi arus media internet berpengaruh akan fenomena post-truth. Sekarang ada lebih banyak notifikasi pop-up dan berita-berita yang menyapa kita di layar seiring bertambahnya pengguna internet. Kemunculan banyak pengguna internet baru mengundang banyak orang untuk mendirikan banyak bisnis berbasis online. Sayangnya, beberapa dari mereka mendirikan media online yang membuat berita kebohongan atau menargetkan pengguna internet baru untuk mempunyai pandangan tertentu.
Sebagai studi kasus, inilah yang dilakukan Facebook selama bertahun-tahun. Pada April 2018, Mark Zuckerberg didakwa karena dianggap bertangggung jawab atas monopoli pemilihan umum presiden Amerika Serikat tahun 2016. Facebook membocorkan data pengguna yang dipakai untuk meluncurkan berita hoax dan postingan pemilu yang menargetkan preferensi akun pengguna. Ini menyebabkan pelaksanaan pemilu 2016 berjalan dengan runyam dengan kemenangan Donald Trump. Penjualan data pengguna Facebook adalah awal kebangkitan algoritma internet yang buruk. Kasus ini membuat nama Mark Zuckerberg dan perusahaannya tercoreng di Amerika Serikat.
Sementara itu di Indonesia, nama Mark Zuckerberg cenderung masih bereputasi positif. Ini menunjukan opini populer tentang suatu topik sangatlah berbeda sesuai kondisi geografis. Bahkan di 2021, berbagai akun sosial media lokal yang melabeli mereka sebagai akun tentang motivasi dan kesuksesan masih menjual cerita perjuangan Mark Zuckerberg saat mendirikan Facebook untuk dijadikan bahan konten kesuksesan. Reputasi Mark di Indonesia terasa sudah kedaluwarsa dibanding dengan reputasinya di Amerika Serikat. Perbedaan ini menarik. Apakah Mark seorang lelaki inspirasional seperti reputasinya di Indonesia atau pribadi narsistik yang haus uang seperti yang mayoritas warga Amerika Serikat kenal? Silakan pilih kebenaranmu.
Pada paragraf ini, mungkin pandangan kita tentang Mark Zuckerberg dan Facebook berubah 180 derajat. Inilah mengapa kita harus mengecek ulang informasi yang kita dapat dari media dan terus menerus menguji kebenaran di era post-truth ini. Inilah juga alasan mengapa kita semakin sulit menemukan kebenaran.
Kebenaran adalah sesuatu yang melewati banyak proses, namun proses-proses ini dapat terganggu bila masyarakat sebagai konsumen media menanggapi berita dengan emosi yang lebih dominan daripada rasionalitas. Variasi sajian media menciptakan polarisasi pada pandangan sosial dan politik masyarakat yang menciptakan kubu-kubu tertentu. Di dalam lingkup seperti ini, masyarakat tidak takut terjerumus untuk mempercayai data yang salah, mereka lebih takut mempercayai data yang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam pikiran mereka.
Ketika membaca suatu berita, konsumen media kerap mempercayai skenario yang paling dekat dengan harapan mereka dan mengabaikan teori-teori lainnya. Kecacatan nalar netizen modern inilah yang dicecar oleh media manipulator untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari pengendalian opini dan penyebaran hoax. Media yang berfungsi sebagai penyaji kebenaran yang absolut dan terpercaya berubah menjadi korporat yang terprogam untuk menyajikan berita yang ingin orang dengar dan baca dengan sasaran pembaca yang telah dieksekusi.
Mengutip Aristoteles, jika narasi disajikan secara buruk dalam masyarakat, akibatnya adalah kemerosotan peradaban. Kita telah melihat kemerosotan peradaban sebagai dampak dari sikap antipati media dan masyarakat terhadap kebenaran. Untuk itu, kita perlu melatih diri sendiri untuk peka terhadap kebenaran dan sadar bahwa algoritma di internet benar-benar terhubung secara langsung dengan aspek psikologis konsumen. Jika tidak, perspektif kita akan dikendalikan oleh media yang kita konsumsi. Karenanya, ada beberapa hal yang harus kita ingat untuk menguji kebenaran dan mengubah taktik algoritma media:
1. Mengidentifikasi hoax sebelum mengklik berita bacaan.
2. Ingatlah bahwa setiap data terdapat unsur bias karena data diolah manusia.
3. Selalu sadar dengan perspektif yang kita ambil ketika mencerna suatu hal.
4. Ubahlah pandanganmu tentang suatu topik jika dirasa perlu.
Dengan mengubah cara kita menanggapi arus informasi media, kita bisa menciptakan produktivitas media yang berbasis kebenaran karena pada akhirnya algoritma media akan mengikuti perilaku manusia dalam menangkap informasi. Ini tentunya penting untuk memutus pola timbal balik antara netizen dan media manipulator. Plato pernah berkata bahwa siapapun yang menyampaikan berita adalah pemegang kendali dalam masyarakat, kita semua mempunyai kendali itu. Ingatlah bahwa kendali media adalah kendali terhadap kebenaran, dan kendali terhadap kebenaran adalah kendali terhadap kehidupan.