Jangan Harap Siklus Pelanggaran HAM Akbar di Indonesia Berhenti

Mengutip perkataan Mark Twain, sejarah tidak mengulang dirinya, namun ia biasanya mempunyai rima. Segala peristiwa yang terjadi di masa lampau pada suatu negara adalah bagian dari rima yang akan terus beriringan membentuk suatu pola siklus evolusi sejarah yang distingtif.
Seperti yang kita ketahui, sejarah kelam telah lama menghantui Indonesia dari pasca kemerdekaan hingga saat ini. Berbicara mengenai pelanggaran HAM dan pemecahan masalahnya, Indonesia bisa dibilang lemah untuk berkaca dan mencari solusi bagi kasus-kasus renta yang mulai kehilangan riuhnya, misalnya saja kasus hilangnya aktivis HAM legendaris Widji Thukul yang tidak terlupakan namun juga tidak terselesaikan. Rentetan histori kelam di tahun-tahun awal reformasi menjadi goresan trauma dan kesedihan mendalam yang akan terus hinggap dalam memori perjuangan HAM di Indonesia.
Para pemuda sebagai penerus bangsa harus berprogres sebagai masyarakat dengan bayang-bayang kelam masa lalu dan berusaha agar kejadian-kejadian serupa tak akan terjadi lagi. Yang akan turun di garda depan dalam perjuangan ini adalah para pembelajar sejarah, orang-orang dengan kepedulian terhadap sesamanya, juga korban pelanggaran HAM itu sendiri yang muak atas birokrasi penanganan hukum HAM di Indonesia. Mereka adalah Human Rights Defender atau pembela HAM yang merupakan kalangan minoritas. Bukan karena mereka adalah minoritas secara etnik, religius, ataupun ekonomis, namun karena rumus pembelaan HAM di Indonesia adalah setiap warga yang menentang pemerintah demi membela HAM otomatis akan menjadi kaum minoritas dalam konteks perjuangannya yang diburu dan perlu perlindungan masif karena posisi kewarganegaraan mereka akan menjadi rentan dalam sekejap. Lebih lanjut, para aparat dan pihak pengadilan yang berperan penting dalam melindungi pembela HAM justru jarang berada di pihak oposisi.
Human Rights Defender atau pembela HAM bukanlah hal yang asing di Indonesia. Meskipun gaungnya mengintai di penjuru negeri, suara-suara mereka rentan redup karena harus melalui banyak rintangan dalam penyampaiannya. Terlebih lagi, menuntut HAM dalam kasus besar hampir selalu berarti menaruhkan reputasi dan memosisikan diri mereka dalam ancaman kriminal.
Hak atas kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan diatur dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan, berekspresi, dan berpikir sesuai dengan hati nurani seseorang. Namun, kebebasan ini telah dibatasi secara sewenang-wenang oleh hukum yang terlalu luas dan tidak jelas. Pembela HAM telah didakwa dengan “pemberontakan” berdasarkan Pasal 106, 107 dan 110 KUHP, “penghasutan” berdasarkan Pasal 160 dan penodaan agama berdasarkan Pasal 156a. Ketentuan pidana pencemaran nama baik dan penghasutan di bawah Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga telah banyak digunakan untuk mengekang dan mengkriminalisasi kebebasan berekspresi yang mengkriminalisasi distribusi atau aksesibilitas informasi serta memberikan definisi yang kabur tentang pencemaran nama baik dan penistaan sehingga memungkinkan interpretasi sewenang-wenang. Undang-undang tersebut juga memperluas pencemaran nama baik dan pembatasan lainnya ke media online. Undang-undang anti-teroris digunakan untuk menargetkan pembela HAM; banyak yang dicap sebagai pemberontak dalam upaya merusak pekerjaan mereka.
Tercermin dalam data kebebasan pers dunia, Indonesia sebagai negara demokrasi besar berada di zona merah dengan tingkat kebebasan pers yang lemah, tertinggal dari Papua Nugini yang termasuk zona hijau Oseania. Media adalah pilar keempat dalam demokrasi yang sangat berpengaruh bagi advokasi HAM, namun kebebasannya seringkali dimonitori, difabrikasi, dan dimanipulasi demi kepentingan reputasi pemerintah. Kebebasan pers yang tertahan merupakan penyebab penting kebobrokan Indonesia dalam menangani masalah HAM. Para pembela HAM tidak mempunyai cukup suara untuk menepis keadaan hukum perlindungan terhadap pembela HAM di Indonesia yang samar-samar. Dalam kasus Papua, misalnya. Meski sudah mendapat ancaman internasional, Indonesia tetap melanjutkan opresi terhadap masyarakat Papua. Nama-nama pembela HAM untuk Papua pun malah menjadi sorotan dan mendapat reputasi buruk dari serangan pro-pemerintah.
Birokrasi dan penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih cenderung nasionalis dan dangkal. HAM kerap dilihat sebagai hal yang esensinya dapat dimodifikasi dan wajib tunduk terhadap kepentingan nasional. Kekonkritan HAM yang sifatnya melekat pada eksistensi manusia serta telah terpatri ribuan tahun lalu bahkan sebelum adanya konsep nasionalisme kerap dinodai dan dicela.
Aksi Kamisan yang merupakan aktivitas berdemo di depan Istana Negara setiap hari Kamis yang telah berlangsung selama 13 tahun dalam bentuk penuntutan keadilan mengenai kasus 1998 menjadi wujud simbolik posisi para pembela HAM di Indonesia yang kerap tidak dihiraukan. Peristiwa pembantaian 1965 dan Mei 1998 telah dicap sebagai pelanggaran HAM luar biasa. Kengerian suasana pembantaian historis ini turut diabadikan dalam novel metaforis Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori, karya lainnya yaitu memoar legendaris Catatan Seorang Demonstran, film Surat dari Praha, serta dua film dokumenter peraih nominasi Oscar yaitu The Act of Killing dan The Look of Silence yang ironisnya dibuat oleh sineas Amerika Serikat dan bukan dalam negeri. Kebejatan peristiwa itu telah luas terabadikan dalam karya yang memberi perspektif sejarah dari sisi para pejuang HAM pada masanya. Namun begitu, transparansi dan pengeksposan cerita-cerita kelam ini terkesan kurang diberi atensi. Tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan pidana kasus genosida akbar di masa lalu, tanpa disadari rima sejarah pun kembali dengan kasus HAM di Timor Timur, Papua, dan kasus-kasus lain yang tidak tersorot. Ini adalah bentuk ketidakseriusan bangsa dalam memaknai peristiwa kelam historis yang harus diakui telah membentuk bangsa ini.
Diperlukan massa dan sumber daya manusia berkualitas untuk memajukan HAM di Indonesia dan para pembelanya. Para pemuda patut diberi contoh-contoh soal dengan pertanyaan dilema berat yang menitikberatkan keadilan bagi manusia seperti yang dilakukan Jerman. Dengan ini, mereka mampu menyikapi peristiwa pelanggaran HAM dengan bijak dan membuka mata mereka terhadap perspektif HAM yang luas selagi memberi ruang pembicaraan mengenai topik-topik yang sulit. Beginilah bagaimana para pembela HAM masa depan terbentuk dan akhirnya melahirkan sistem pemerintah pro-HAM yang solid dalam melindungi pembelanya.
Penindasan terhadap Human Rights Defender berakar dari pemahaman yang egosentris dan nasionalis yang berpusat dari kegagalan negara menanamkan pengertian mendalam dan utuh terhadap HAM. Kita perlu melihat HAM sebagai entitas penting dalam kehidupan bernegara untuk menciptakan ruang yang aman bagi para pembela HAM dalam menyuarakan aspirasi mereka. Sampai pada saat itu, negara ini tetap akan memandang pembela HAM sebagai pemberontak dan perusak nasionalisme yang perlu dibungkam. Dan sampai pada saat itu juga, siklus pelanggaran HAM sebagai bagian rima sejarah bangsa ini akan terus berlanjut dan bertolak belakang dengan tujuan para Human Rights Defender yang mengorbankan diri mereka untuk pemajuan HAM di Indonesia.