52 Buku, 4 Bahasa, 3 Larangan: Sebuah Kulminasi Resolusi

Menetapkan resolusi-resolusi tahun baru setelah masa pandemi hadir terasa agak menggelitik. Banyak pelajaran yang telah saya kumpulkan dan coba aplikasikan dari tahun lalu dan salah satunya adalah agar tidak berlebihan dalam mematenkan resolusi awal tahun, karena dunia ini terlalu kompleks untuk diprediksi. Pada tahun ini, rasanya saya hanya ingin membentuk kebiasaan baik yang sederhana dan yang realisasinya sepenuhnya ada di tangan saya.
Banyak waktu saya luangkan untuk memikirkan kebiasaan-kebiasaan baik yang berkesinambungan satu sama lain. Dalam kata lain, saya berusaha menyambungkan aktivitas bermanfaat dengan aktivitas bermanfaat lainnya. Saya berminat membuat resolusi saya bukan hanya menjadi gambaran tentang tujuan tetapi sebuah permainan mindset dan disipllin diri.
Seperti kata Anthony Robbins, kita harus menyambungkan hal-hal yang kita lakukan dengan hal-hal yang kita nikmati, agar otak kita memproduksi dopamin dan adrenalin yang membuat kita tetap bergairah melakukan tujuan kita. Tidak hanya itu, mengaitkan dan menyambungan kegiatan-kegatan bermanfat juga membuat kita merasa senang dan lebih puas ketika misi kita telah tercapai. Bagi saya, aktivitas menyenangkan itu adalah membaca, menulis, dan belajar bahasa baru.
· 52 Buku
Bill Gates membaca 50 buku per tahun, sementara rata-rata para CEO perusahaan membaca 60 buku setiap tahunnya. Fakta lainnya, minat baca pembaca buku di dunia rata-rata naik 35% selama masa pandemi. Membaca buku bagi saya bukan sekadar aktivitas menambah ilmu atau terlihat intelektual, namun sudah jadi sumber hiburan bahkan penawar kesepian. Oleh karena itu, saya bernasar untuk membaca 52 buku di tahun 2021 ini, beserta menyukseskan tujuan-tujuan saya seperti penguasaan bahasa dan disiplin diri yang berkaitan dengan kegiatan membaca.
Bulan Desember lalu, algoritma Facebook mempertemukan saya dengan grup ‘The 52 Book Club’, yang merupakan tantangan membaca 52 buku dalam setahun. Setelah diriset, mereka pun ternyata juga mempunyai website dengan ribuan langganan. Basis mereka sendiri berada di Amerika Serikat, namun banyak anggota internasional yang turut memeriahkan tujuan resolusi membaca ini. Ada daftar 52 tema-tema buku yang harus dibaca. Jadi kita secara tidak langsung diarahkan untuk memperluas jangkauan bacaan kita alih-alih membaca hanya satu genre, latar, atau tema yang monoton. Misalnya, nomor satu, kita diharuskan membaca buku bertema peperangan atau meditasi. Sementara di nomor dua, kita diwajibkan membaca buku berlatar benua Afrika. Semua sugesti buku yang harus dituntasi lengkap mulai dari bacaan fiksi sampai nonfiksi.
Mengapa lima puluh dua? Ada 365 hari dalam setahun. Jika dikalkulasikan, itu sama saja dengan 52 minggu. Jumlah 52 buku terasa tidak terlalu mengintimidasi bagi saya. Walau hanya bisa membaca 26 buku tahun lalu, rasa optimis saya masih kuat untuk menuntaskan dua kali lipat jumlah dari tahun kemarin.
Dalam memenuhi target saya ini, saya telah mengubah lingkungan kamar saya menjadi tempat yang nyaman untuk membaca. Saya juga telah membeli perlengkapan membaca, sticky notes, serta bangku baca. Tak lupa aplikasi membaca seperti goodreads untuk melacak halaman dan buku-buku yang telah dibaca. Semua itu saya lakukan agar kegiatan yang ingin saya jalankan dapat mudah diakses dan terprogram otomatis. Ini sesuai dengan hukum kebiasaan 1 dan 3 yang diusung James Clear dalam buku fenomenalnya ‘Atomic Habits’ yaitu menjadikannya aksesibel dan mudah untuk dilakukan guna menggapai tujuan kebiasaan yang mengantarkan saya pada realisasi resolusi saya. Salah satu bagian lain dari resolusi saya tahun ini juga termasuk meningkatkan kemampuan bahasa saya melalui asupan buku.
· 4 Bahasa
1. Jerman
Nah, dalam perjalanan menuju budaya membaca ini. Saya juga akan berusaha mempelajari bahasa dari buku-buku yang saya akan baca di tahun ini. Semenjak satu tahun saya telah belajar bahasa Jerman sampai level menengah, rasanya sayang jika semua materi harus buyar dari memori. Kalau melihat ke rak saya, ada beberapa buku bahasa Jerman yang menanti untuk saya singgahi. Literatur klasik seperti ‘All Quiet on the Western Front’ dan buku-buku Franz Kafka yang saya tak sabar untuk baca sambil sesekali menambah kosakata baru.
2. Inggris
Untuk bahasa inggris, dari sekat pertama sampai keempat rak saya, banyak sekali buku berbahasa Inggris yang terpajang dan belum terbaca mulai dari ‘The Kite Runner’ sampai ‘Sophie’s World’. Ada juga sastra-sastra Inggris klasik yang sudah menjadi wishlist selama bertahun-tahun dan akhirnya akan saya baca tahun ini.
3. Indonesia
Lalu untuk buku lokal, ada buku karya Leila S. Chudori dengan bukunya ‘Laut Bercerita’ dan buku-buku Ruwi Meita yang akan menjadi buku bahasa Indonesia pembuka tantangan ini. Tentunya dengan harapan saya bisa lebih menguasai bahasa, budaya, dan literasi negeri sendiri.
4. Arab
Yang terakhir adalah bahasa Arab. Khusus ini, saya berniat mengembangkan sisi spiritual saya dengan lebih memahami bacaan yang ada dalam Al-Qur’an tanpa membaca arti terjemahannya. Perasaan ini mungkin universal bagi seluruh muslim. Sebagai seorang muslim, saya selalu ingin mengerti lebih jauh tentang apa yang saya baca sehari-harinya. Proses ini mungkin akan memakan waktu yang lama untuk terlihat hasilnya. Kamus digital maupun cetak akan menjadi sahabat saya beberapa bulan kedepan.
· 3 Larangan
Larangan berguna untuk membuat kita tetap on track dengan resolusi. Berkut beberapa larangan vital yang saya tetapkan agar perjalanan meraih resolusi saya tidak terdikstrasi:
1. Tidak Membatasi Kehidupan Sosial dan Pekerjaan
Sebuah alasan yang sering terlontarkan untuk tidak membaca buku adalah karena kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Memang benar jika waktu luang sangatlah berharga, menjalankan nasar sendiri juga merupakan hal yang bisa menyita waktumu untuk hal yang lain. Syukurnnya, format alternatif buku yang bisa kita temukan di zaman modern ini seperti audiobook dan e-book yang bisa diakses dimana saja. Kalau begitu, waktu yang sudah ‘dibooking’ sudah bukan lagi menjadi alasan untuk menunda pekerjaan lain dan membatalkan pertemuan.
2. Harus Menggunakan Lampu Memadai Saat Membaca
Bukan sekadar larangan, namun himbauan untuk menjaga kedua mata kita. Ancaman yang mengintai kalau pencahayaan terlalu redup ketika membaca itu serius. Sebut saja katarak astigmatisme. Dengan ini saya juga mebentuk kebiasaan membaca yang baik dan aman. Kebiasaan membaca tanpa lampu yang memadai atau jarak objek yang terlalu dekat dan posisi duduk bisa mempengaruhi ketajaman dan fokus mata.
3. Tidak Boleh Tidak Menulis
Menulis dan membaca adalah dua hal yang berkaitan. Seperti anak kembar identik yang tak terpisahkan dan saling melengkapi satu sama lain. Membaca adalah aktivitas input atau memasukkan pemikiran, teori, atau tulisan ke dalam otak kita, sementara menulis adalah aktivitas output yang mengubah pikiran menjadi suatu ungkapan atau karya.
Sebagai penulis lepas yang telah mengerjakan proyek menulis untuk membantu klien, apa yang kita baca merupakan materi yang hasil ekstrasinya akan dituangkan ke media tulisan. Atas dasar ini, saya beranggapan jika saya membaca tanpa menulis itu merupakan kesia-siaan dan penghinaan terhadap kegiatan membaca itu sendiri. Karena menulis dan membaca adalah dua sisi koin, dan tidak menulis sama saja menelantarkan ide-ide yang teah diproses otak secara otomatis. Kita bisa membuat review buku yang telah dibaca, membuat puisi yang terinspirasi dari buku-buku, ataupun menulis lagu. Buatlah waktu konsumtif menjadi produktif.
Saya percaya, kita terkadang terlalu linear dalam menetapkan tujuan dan resolusi tahun baru sampai resolusi awal tahun terdengar komikal karena pelaksanaannya kerap kendor di pertengahan jalan. Dalam cara saya, dengan membuat daftar konsekuensi, aktivitas, ruang, dan kaitan yang detil akan mempermudah kita untuk melakukan hal yang harus kita lakukan. Seperti menggabungkan aktivitas membaca, menulis, dan menguasai bahasa yang sebenarnya bisa dilakukan dalam harmoni karena ketiganya berkaitan. Dengan resolusi yang tidak muluk-muluk namun membutuhkan tanggung jawab besar ini, saya bisa terus bergerak dan berinovasi walau dihantui ketidakpastian masa pandemi.